Sabtu, 11 Februari 2012

Opini pelajar tentang UN


            “Percuma diadakan UN kalau jawabannya diberi tahu guru,” ujar Dewi Yulandari, 17 tahun, siswi SMK Pelita Ciampea Bogor  ketika ditanya mengenai tanggapannya terhadap pelaksanaan UN. Sikap pesimistis Dewi boleh jadi dialami banyak pelajar di Indonesia. Setiap tahunnya, UN masih menjadi topik hangat di kalangan pendidik maupun pengajar di Indonesia. Silang pendapat terus mengemuka. Apalagi jika muncul pemberitaan sekolah yang seratus persen siswanya tidak lulus.
            Pendapat berbeda dikemukakan Nurfitriani Dewi, 17 tahun, siswi MA Darul Arqam Garut. “UN itu bagus karena yang salah bukan UN tapi yang melaksanakan dan mengatur. Karena, fungsinya sebagai tolok ukur pendidikan di tiap daerah memang beda tapi harus ada ke dalam menjalankan suatu pendidikan. Agar pemerintah tahu patokan dan evaluasi sebagai langkah memperbaiki pendidikan.”
            Bagi ibu Lusi Dahniar, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 10 Bogor mengungkapkan dukungannya terhadap UN. “Menurut ibu, UN itu perlu sebagai standar pendidikan di Indonesia.” SMA Negeri 10 Bogor sendiri telah menyiapkan program demi memfasilitasi persiapan para siswa dalma menghadapi UN. “Mulai dari awal tahun ajaran, siswa kelas 12 sudah diberi jam tambahan untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Pada semester 2, jam pelajaran nonUN dikurangi dana jam pelajaran yang di-UN-kan ditambah lagi. Lalu, disediakan try out bekerja sama dengan dinas pendidikan dan universitas yang mengajak kerja sama.”
             Beberapa sekolah memang memilih meberikan program jam pelajaran tambahan bagi mata pelajaran yang di-UN-kan agar pembelajaran lebih intensif. Selain SMA Negeri 10 Bogor, SMA Negeri 1 Takalar di Sulawesi Selatan pun berinisiatif sama. Nur Efinai Paweli, 17 tahun, siswi SMA Negeri 1 Takalar menambahkan, “Sekolah mendorong para siswa memiliki kelompok belajar di luar bimbel yang disediakan setiap pulang sekolah.”


            Namun, apakah dengan menambah jam pelajaran cukup membantu mengurangi beban para siswa yang berlomba dengan waktu untuk mendalami seluruh materi? Katrine Wisnu Christianti, 17 tahun, siswi SMK Negeri 27 Jakarta menganggap fasilitas bimbel dari pihak sekolah sangat membantu. Berbeda dengan Khoirunnisa, 17 tahun, Pesantren Pertanian Darul Fallah Garut. “Bimbel diisi dengan evaluasi kembali materi yang akan di-UN-kan. Hasilnya kurang maksimal.”
            Baik Mochammad Zaky Fakhrul Makarim, Nurfitriani Dewi dan Khoirunnisa—ketiganya pelajar dari MA Darul Arqam Garut—setuju bahwa manfaat bimbel bergantung pada keseriusan dan minat belajar siswa. Hal senada dikemukan Cahaya Norflani dari SMA Negeri 1 Leuwiliang dan Ismail Akbar dari SMA Negeri 10 Bogor. Dapat disimpulkan, persiapan menjelang UN ditentukan oleh usaha pelajar itu sendiri. Tanpa kerja keras dan motivasi kuat serta dukungan dari keluarga maupun pihak sekolah, mereka akan kesulitan meraih nilai minimum sebagai penentu kelulusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar