“Percuma diadakan UN kalau
jawabannya diberi tahu guru,” ujar Dewi Yulandari, 17 tahun, siswi SMK Pelita
Ciampea Bogor ketika ditanya mengenai
tanggapannya terhadap pelaksanaan UN. Sikap pesimistis Dewi boleh jadi dialami
banyak pelajar di Indonesia. Setiap tahunnya, UN masih menjadi topik hangat di
kalangan pendidik maupun pengajar di Indonesia. Silang pendapat terus
mengemuka. Apalagi jika muncul pemberitaan sekolah yang seratus persen siswanya
tidak lulus.
Pendapat berbeda dikemukakan
Nurfitriani Dewi, 17 tahun, siswi MA Darul Arqam Garut. “UN itu bagus karena
yang salah bukan UN tapi yang melaksanakan dan mengatur. Karena, fungsinya
sebagai tolok ukur pendidikan di tiap daerah memang beda tapi harus ada ke
dalam menjalankan suatu pendidikan. Agar pemerintah tahu patokan dan evaluasi sebagai
langkah memperbaiki pendidikan.”
Bagi ibu Lusi Dahniar, guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 10 Bogor mengungkapkan dukungannya
terhadap UN. “Menurut ibu, UN itu perlu sebagai standar pendidikan di
Indonesia.” SMA Negeri 10 Bogor sendiri telah menyiapkan program demi
memfasilitasi persiapan para siswa dalma menghadapi UN. “Mulai dari awal tahun
ajaran, siswa kelas 12 sudah diberi jam tambahan untuk mata pelajaran yang
di-UN-kan. Pada semester 2, jam pelajaran nonUN dikurangi dana jam pelajaran
yang di-UN-kan ditambah lagi. Lalu, disediakan try out bekerja sama dengan
dinas pendidikan dan universitas yang mengajak kerja sama.”
Beberapa sekolah memang memilih meberikan
program jam pelajaran tambahan bagi mata pelajaran yang di-UN-kan agar
pembelajaran lebih intensif. Selain SMA Negeri 10 Bogor, SMA Negeri 1 Takalar
di Sulawesi Selatan pun berinisiatif sama. Nur Efinai Paweli, 17 tahun, siswi
SMA Negeri 1 Takalar menambahkan, “Sekolah mendorong para siswa memiliki
kelompok belajar di luar bimbel yang disediakan setiap pulang sekolah.”
Namun, apakah dengan menambah jam
pelajaran cukup membantu mengurangi beban para siswa yang berlomba dengan waktu
untuk mendalami seluruh materi? Katrine Wisnu Christianti, 17 tahun, siswi SMK
Negeri 27 Jakarta menganggap fasilitas bimbel dari pihak sekolah sangat
membantu. Berbeda dengan Khoirunnisa, 17 tahun, Pesantren Pertanian Darul
Fallah Garut. “Bimbel diisi dengan evaluasi kembali materi yang akan di-UN-kan.
Hasilnya kurang maksimal.”
Baik Mochammad Zaky Fakhrul Makarim,
Nurfitriani Dewi dan Khoirunnisa—ketiganya pelajar dari MA Darul Arqam
Garut—setuju bahwa manfaat bimbel bergantung pada keseriusan dan minat belajar
siswa. Hal senada dikemukan Cahaya Norflani dari SMA Negeri 1 Leuwiliang dan
Ismail Akbar dari SMA Negeri 10 Bogor. Dapat disimpulkan, persiapan menjelang
UN ditentukan oleh usaha pelajar itu sendiri. Tanpa kerja keras dan motivasi
kuat serta dukungan dari keluarga maupun pihak sekolah, mereka akan kesulitan
meraih nilai minimum sebagai penentu kelulusan.